Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah, Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagiannya mengatakan, suara wanita adalah aurat sehingga kaum wanita dilarang mengeraskan suara mereka yang akan disimak oleh laki-laki asing (bukan mahramnya). Menurut mereka, suara wanita lebih menimbulkan fitnah daripada suara gelang kakinya, sedangkan Allah telah berfirman:
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
"Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. al-Nuur: 31)
Allah Ta'ala telah melarang kaum wanita memperdengarkan suara gelang kakinya karena ia bagian dari perhiasannya, sebab dapat menimbulkan fitnah. Maka mengeraskan suaranya itu lebih layak dilarang daripada memperdengarkan suara gelang kakinya. Karena itu para ulama melarang wanita mengumandangkan adzan karena harus mengeraskan suara, sedangkan wanita dilarang mengeraskan suaranya.
Sebagian yang lain mengatakan, suara wanita bukan aurat. Karena para istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam meriwayatkan hadits kepada kaum lelaki. Para wanita pada zaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga berbicara dan bertanya secara langsung kepada beliau di saat ada para sahabat laki-laki, dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak melarangnya.
Pada dasarnya suara wanita bukanlah aurat, tetapi diharamkan jika dilunak-lunakkan sehingga bisa menimbulkan fitnah pada diri laki-laki yang mendengarnya. Maka yang diharamkan adalah suara yang diperhalus/diperlunak. Pendapat inilah yang dipilih Imam Nawawi rahimahullah.
Allah Ta'ala berfirman,
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang biasa/lumrah." (QS. Al-Ahzab: 32)
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: "Sesungguhnya suara wanita adalah aurat, yakni apabila dengan dilembutkan, adapun suaranya yang biasa bukanlah aurat."
Maka makna suara wanita yang didengarkan oleh para sahabat saat mereka menyampaikan riwayat atau saat berbicara kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dibawa kepada makna ini, yaitu suara yang biasa dan tidak dilembut-lembutkan. Karena kaum wanita tidak boleh melembut-lembutkan dan melunak-lunakkan suara mereka sebab bisa menimbulkan fitnah.
Laki-laki Menjadi Guru Baca-tulis Al-Qur'an Murid Perempuan
Jika demikian, bagaimana hukum laki-laki yang menjadi guru baca tulis Al-Qur'an, guru tahfizul Qur'an, atau penguji bacaan Al-Qur'an terhadap murid perempuan?
Pada penjelasan di atas bahwa yang diharamkan dari suara wanita adalah yang diperindah, diperhalus, diperlembut dihadapan kaum lelaki. Sebabnya, karena bisa menimbulkan fitnah. Bagi kaum lelaki juga diharamkan menikmati suara wanita seperti tadi, kecuali suara istrinya. Dan tidak diragukan lagi bahwa membaca Al-Qur'an dengan tajwid menuntut untuk melembutkan suara dan memperbagusnya. Maka sebaiknya guru laki-laki tersebut membatasi diri sejauh yang diperlukan atau kebutuhan. Dan hal itu dibolehkan jika tidak ada guru wanita lagi yang bisa mengajar atau menguji bacaan Al-Qur'an murid-murid wanita. Wallahu Ta'ala a'lam.
sumber